Kamis, 13 Juni 2019

Mengenal Swasunting Bagi Penulis Pemula

Apa, sih, Swasunting itu?



Swasunting sendiri sebuah proses yang perlu dilakukan oleh tiap penulis setelah menyelesaikan draf tulisan. Proses ini bisa meliputi pengecekan tipo, kesesuaian tata bahasa, kejanggalan, ambiguitas, kesinambungan antara satu bagian dengan bagian lain, dan masih banyak lagi.


Singkatnya, swasunting adalah kesempatan melihat kekurangan, memoles, dan memberi nilai tambah pada tulisan yang sudah diselesaikan.


Sebagus apa pun materi yang disampaikan, jika tidak ‘dibungkus’ dengan penulisan yang rapi, kecil kemungkinan akan disukai orang lain. Jangankan disukai, dilirik pun tidak. Sebaliknya, tulisan biasa yang disajikan dengan baik justru akan mampu menarik perhatian.


Ada beberapa tip dan trik yang bisa dicoba.
1. Lakukan penyuntingan setelah merampungkan tulisan. Sebab, menulis dan menyunting pada saat yang bersamaan akan membuat tulisan tidak kunjung terselesaikan.

2. Pastikan untuk tidak jatuh cinta pada karya sendiri. Sebab, hal itu cenderung membuat kita berpikir bahwa tidak ada hal yang perlu diubah lagi dalam naskah. Ketika ada yang memberi masukan positif, kita tolak. Kita sudah dibutakan oleh kekaguman pada tulisan sendiri, padahal belum tentu orang lain melihat karya kita sebagus itu.

Jadi, bagaimana cara untuk tidak jatuh cinta?

Beri jeda waktu sebelum melakukan penyuntingan. ‘Fermentasikan’ naskah selama 5-7 hari (atau minimal 3 hari jika waktunya terlalu sempit). Boleh lebih lama jika tenggat waktu masih cukup longgar. Jeda inilah yang akan memampukan kita melihat tulisan secara lebih objektif.

3. Saat menyunting, baca keras-keras kalimat yang sudah ditulis. Hal ini dapat membantu kita menyadari jika ada bagian yang terasa janggal.
Penyuntingan bukan sekadar melakukan hal-hal teknis, tapi juga harus melibatkan rasa.

4. Jangan simpan sendiri tulisanmu. Berbagilah dengan orang lain, tidak perlu malu. Dengan cara ini, boleh jadi kamu akan mendapatkan banyak masukan.
Kamu bisa menceritakan ulang secara lisan atau mencari beberapa pembaca pertama dan meminta pendapat dari mereka. Tanyakan hal-hal yang spesifik, bukan hanya, “Gimana? Bagus, nggak?” 
Kalau perlu, buat kuesioner untuk memastikan mereka memahami apa yang disampaikan. Jangan sampai kamu ingin mengatakan ‘A’, tapi mereka malah memiliki asumsi berbeda.

Catatan untuk poin ini:
Carilah pembaca yang objektif. Jangan tunjukkan tulisanmu pada orang yang hanya akan memberi pujian atau orang yang pasti menghujat.

5. Saat menulis, bebaskan apa pun yang ada dalam pikiran. Banjiri tulisan dengan kosakata sebanyak dan sevariatif mungkin. Ketika tiba saat menyunting, lakukan hal sebaliknya. Pangkas tulisan jadi seramping mungkin. Buat setiap kalimatmu terasa seperti quote.

6. Jadilah raja tega. Jika kamu menghilangkan satu bagian, tapi keseluruhan tulisan ternyata baik-baik saja, bagian itu mungkin memang tidak perlu ada. Hapus saja. Kadang memang berat (banget!) karena kita memiliki personal attachment pada tulisan sendiri. Namun, ada satu hal yang perlu diingat: naskah tebal belum tentu bagus, naskah tipis juga tidak selalu jelek. Naskah tipis yang padat masih lebih baik daripada naskah tebal yang bertele-tele.

7. Last but not least, tidak harus menjadi seperti Ivan Lanin, tapi jangan pernah bosan membaca PUEBI dan KBBI. Selalu cek apakah cara penulisan sudah sesuai dengan kaidah yang ada. Pastikan kata-kata yang digunakan benar dan baku.


Sesekali, boleh saja melanggar aturan penulisan karena satu atau lain pertimbangan. Namun, jika memang ingin melakukannya, pastikan untuk melanggar dengan sadar, bukan melanggar karena tidak tahu.

Swasunting berlaku untuk semua jenis buku. Apa pun.
Sajak, Puisi, Novel, Fiksi, Nonfiksi, Biografi... semuanya.

Swasunting dimaksudkanukan hanya untuk mengoreksi kata baku/tidak baku.
ini juga berlaku untuk merampingkan tulisan, membuang bagian-bagian yang tidak perlu, memperbaiki tata bahasa, dan lain-lain.


*Sumber : Materi dari mba Ratri Dwi Kayungyun (editor, writer mentor)

Selasa, 05 Februari 2019

Kado dari Jauh

Teruntuk Uda, terima kasih udah dibuatin secarik cerita dari chat kita malam itu. Mungkin sederhana, tapi itu berkesan. Uda yg selalu mau aku gangguin, maaf kalau Adekmu ini menyebalkan. 😂 Ini dibuat -/+ beberapa jam menuju tgl 21 Desember tahun lalu.

***


Dari : Birusemesta


"Biru, hari ini aku ulang tahun."

       "Terus?"

"Kamu tidak ada rencana mau kasih kado untuk aku?"

        "Udah dikasih"

"Mana?"

         "Barusan aku kasih."

"Tidak ada."

           "Ada, kamu saja yang tidak tahu."

"Apa, tidak ada kado yang datang?"

           "Barusan aku berdoa sama Allah, itu kadonya lebih berharga dari sebongkah emas."

"Aiiihh...h.., doanya apa?"

           "Rahasia, tidak boleh tahu."

"Ya, gitu. Main rahasia segala."

            "Pokoknya aku doanya, yang baik diberi Allah untuk kamu."

"Amin, terima kasih, ya, Biru atas doanya."

         "Sama-sama, Barakallahu fil umrik."

"Oh iya, terima kasih, ya, Biru, kamu yang mengucapin pertama kali, kalau aku dekat kamu lasung aku peluk"

          "Jangan peluk, tidak enak?"

"Terus mau apa?"

          "Isikan saja paket kouta internetku, itu lebih enak dari pelukanmu"
—Birusemesta,
kado ulang tahun untuk sahabat paling ribet
#Birusemesta

Jumat, 04 Januari 2019

Ketika Sang Esok Tak Lagi Menyapa

Jalanan tampak lengang pagi ini. Tak ada yang bersua. Semesta diam tanpa meninggalkan pesan pembuka.


"Apa kita akan terus seperti ini?" tanyanya, aku sedikit tersentak.


"Maaf," jawabku.


Riuh burung tak terdengar. Dedaunan berhamburan entah ke mana terbawa angin. Gemericik air hujan perlahan membakar sunyi yang menyelimuti.


"Apa hanya sampai di sini hubungan kita?" 


Aku menghela napas berat, tak tahu harus menjawab apa lagi. "Ini yang terbaik untuk kita." Bibirku berucap seakan tak peduli sesal yang akan menghantui.

"Ra ...."

"Kita akhiri semua ini. Aku lebih suka seperti awal kita kenal."

"Tapi apa yang kamu takutkan?"

"Sakit hati." Aku memberanikan diri menatap manik mata itu. Kurasakan genangan air mulai mengumpul. "Aku hanya pelarian kamu, dan kita tak seharusnya seperti ini," lanjutku.

"Percaya sama aku, Ra. Aku tulus sayang sama kamu." Esok menggenggam tanganku.

"Buat apa aku menjaga hati dan kepercayaan kamu, jika ragamu masih milik orang lain? Posisi aku juga sulit, tolong ... jangan seperti ini."

Hembusan angin semakin menusuk tulang. Perlahan rintik air berjatuhan.

"Jadi kamu mau apa?" tanya Esok untuk kesekian kalinya.

"Ayo kita berteman saja."

***

Bip ... bip ...
Lamunanku buyar ketika notifikasi ponsel berbunyi. Aku pikir itu pesan darinya, tapi nihil. Tak ada lagi sapa hangat lelaki itu kini.

"Hai, Ra, maaf lama nunggu, ya." Aku mendongak, mendapati sahabatku, Lisa yang baru tiba.

"Nggak, kok," balasku.

Lisa lalu duduk di hadapanku, meminum lemon tea yang telah kupesankan untuknya.

"Itu muka kenapa kusut?" tanya Lisa.

"Esok udah nggak pernah hubungi aku."

"Esok?"

"Dia menjauh." Aku menunduk, membiarkan buliran bening itu keluar membasahi pipi. Pertahanan ku runtuh.

Langit sore ikut andil dengan perasaanku. Tidak ada semburat jingga yang terpancar. Sudut-sudut cafe pun mulai penuh sesak oleh orang-orang yang sekadar berteduh dari lebatnya tangisan di luar.


"Mungkin ini memang yang terbaik untuk kalian."

"Tapi bukan akhir seperti ini yang aku inginkan, Lis."

"Jangan egois, Ra. Kamu sendiri yang bilang tidak ingin menjadi pelampiasan, 'kan?"

Aku mengangguk membenarkan perkataan Lisa. Paling tidak kini aku tahu, bahwa Esok tak selamanya mendampingiku. Mungkin kini sinarnya redup. Tak apa. Pelangi masih bisa datang di gelapnya langit sekalipun.


-end-

Mengulang Elipsis bagi Pemula

Hallo, pasti sudah tidak asing lagi dengan elipsis . Setelah kemarin aku post tentang elipsis, asportof dan separator , kini aku bakal m...