Jumat, 04 Januari 2019

Ketika Sang Esok Tak Lagi Menyapa

Jalanan tampak lengang pagi ini. Tak ada yang bersua. Semesta diam tanpa meninggalkan pesan pembuka.


"Apa kita akan terus seperti ini?" tanyanya, aku sedikit tersentak.


"Maaf," jawabku.


Riuh burung tak terdengar. Dedaunan berhamburan entah ke mana terbawa angin. Gemericik air hujan perlahan membakar sunyi yang menyelimuti.


"Apa hanya sampai di sini hubungan kita?" 


Aku menghela napas berat, tak tahu harus menjawab apa lagi. "Ini yang terbaik untuk kita." Bibirku berucap seakan tak peduli sesal yang akan menghantui.

"Ra ...."

"Kita akhiri semua ini. Aku lebih suka seperti awal kita kenal."

"Tapi apa yang kamu takutkan?"

"Sakit hati." Aku memberanikan diri menatap manik mata itu. Kurasakan genangan air mulai mengumpul. "Aku hanya pelarian kamu, dan kita tak seharusnya seperti ini," lanjutku.

"Percaya sama aku, Ra. Aku tulus sayang sama kamu." Esok menggenggam tanganku.

"Buat apa aku menjaga hati dan kepercayaan kamu, jika ragamu masih milik orang lain? Posisi aku juga sulit, tolong ... jangan seperti ini."

Hembusan angin semakin menusuk tulang. Perlahan rintik air berjatuhan.

"Jadi kamu mau apa?" tanya Esok untuk kesekian kalinya.

"Ayo kita berteman saja."

***

Bip ... bip ...
Lamunanku buyar ketika notifikasi ponsel berbunyi. Aku pikir itu pesan darinya, tapi nihil. Tak ada lagi sapa hangat lelaki itu kini.

"Hai, Ra, maaf lama nunggu, ya." Aku mendongak, mendapati sahabatku, Lisa yang baru tiba.

"Nggak, kok," balasku.

Lisa lalu duduk di hadapanku, meminum lemon tea yang telah kupesankan untuknya.

"Itu muka kenapa kusut?" tanya Lisa.

"Esok udah nggak pernah hubungi aku."

"Esok?"

"Dia menjauh." Aku menunduk, membiarkan buliran bening itu keluar membasahi pipi. Pertahanan ku runtuh.

Langit sore ikut andil dengan perasaanku. Tidak ada semburat jingga yang terpancar. Sudut-sudut cafe pun mulai penuh sesak oleh orang-orang yang sekadar berteduh dari lebatnya tangisan di luar.


"Mungkin ini memang yang terbaik untuk kalian."

"Tapi bukan akhir seperti ini yang aku inginkan, Lis."

"Jangan egois, Ra. Kamu sendiri yang bilang tidak ingin menjadi pelampiasan, 'kan?"

Aku mengangguk membenarkan perkataan Lisa. Paling tidak kini aku tahu, bahwa Esok tak selamanya mendampingiku. Mungkin kini sinarnya redup. Tak apa. Pelangi masih bisa datang di gelapnya langit sekalipun.


-end-

Mengulang Elipsis bagi Pemula

Hallo, pasti sudah tidak asing lagi dengan elipsis . Setelah kemarin aku post tentang elipsis, asportof dan separator , kini aku bakal m...